Sebagai sarana refresing setelah si sulung disibukkan dengan Unas SMP, maka pada Minggu 8 Mei 2011, aku dan si sulung Riefqy dan beberapa teman lainnya siap di base camp pada pukul 3 dini hari, untuk loading sepeda ke atas kendaraan menuju dataran tinggi Tengger
Aku menggunakan POLYGON PREMIER 3.0, sedangkan Riefqy menggunakan POLYGON XTRADA.
Sampai di Cemorolawang pukul 6.15, langsung bongkar sepeda langsung dilakukan, karena matahari sudah mulai meninggi di tempat yang mempunyai ketinggian 1218 mdpl itu.
Diawali dengan mengisi perut yang keroncongan dengan makanan berat dan ringan sesuai selera masing-masing, sambil menkondisikan diri di ketinggian, yang tentu memiliki kandungan oksigen lebih tipis.
Start-pun langsung dimulai ketika waktu hampir menunjukkan pukul 7 pagi, dengan terlebih dahulu melapor dan membayar retribusi ke pos masuk Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Biaya setiap peserta cuma 6500 rupiah, itu sudah termasuk retribusi untuk peserta, sepeda dan asuransi. Sehingga ketika kita berada dikawasan ini menjadi tenang dan mengurangi rasa was-was.
Pagi itu, asap pekat hitam legam menyembur dari kawah gunung yang sudah ber-erupsi sejak akhir tahun lalu itu.
Bahkan ketika melalui sisi timur Bromo, rombongan dapat merasakan guyuran hujan abu yang sangat rapat bersuara mirip hujan akibat benturan material vulkanik dengan helm. Abu vulkanik ini bahkan mampu menembus di sela-sela kacamata dan masker, sehingga sedapat mungkin sambil terus gowes juga menundukkan kepala bahkan juga memejamkan mata akan lebih baik, dengan sesekali mengintip jalur yang dilalui.
Meski tak terlalu lama merasakan guyuran abu, wajah dan tubuh peserta sudah berubah warna penuh dengan abu.
Setelah melintas disisi timur bromo, terus ke arah selatan, akan menemui perbukitan nan cantik dan sering disebut dengan Bukit Theletubies. Dari sini jalanan mulai menanjak dan sudah mulai terdapat jalan beton.
Beban berat dan kekurangan oksigen membuat beberapa peserta mulai merasakan mual dan pusing, bahkan ada yang mulas. Selain itu, pancaran matahari yang cukup cerah membuat tubuh mengalami dehidrasi namun tak dirasakan karena hawanya masih amat dingin.
Cara mengatasinya adalah meningkatkan cairan yang masuk ke tubuh meskipun tidak merasakan haus dan beristirahat di tempat yang teduh, sampai keluhan tersebut hilang atau berkurang. Karena jalanan yang dilalui masih terus menanjak hingga memasuki ke pos Jemplang.
Setelah memasuki Jemplang, sempat bertemu dengan penikmat Jeep Off Road, kemudian jalur harus berbelok ke arah timur menuju ke titik tertinggi dalam perjalanan kali ini yaitu Bantengan.
Jalan yang dilalui berupa paving yang sudah mulai rusak dibeberapa titik dan terdapat beberapa tempat sudah mengalami longsor.
Tentu saja di Bantengan, pemandangan sangat istimewa berupa hamparan lautan pasir kaldera pegunungan Tengger, dan tampak pula bukit Theletubies.
Puas menikmati pemandangan dan berfoto ria, perjalanan dilanjutkan menuju ke arah desa Ranupani dan jalanan mulai menurun, namun sesekali terdapat tanjakan walaupun tak setajam sebelumnya.
Di desa Ranupani, waktu menunjukkan pukul 10 siang dan menyempatkan diri untuk melongok ke Danau Ranu Pani yang tampak kurang terawat serta mampir ke Danau Ranu Regulo.
Namun sebelum sampai ke tempat ini beberapa peserta menyempatkan diri membersihkan wajahnya dari debu bromo dengan menggunakan pancuran air yang tersedia di pinggiran jalan desa.
Tak lupa karena waktu sudah mendekati saat makan siang, mencari warung makan adalah salah satu tugas wajib, karena jalur yang akan dilalui masih cukup jauh dengan tantangan yang beragam.
Warung sederhana di depan Pos Pendakian Gunung Semeru, menjadi alternatif terbaik, meski dengan menu sekedarnya asalkan tersedia sambal, semua makanan terasa amat nikmat dikala pelut terasa melilit-lilit.
Puas mengisi perut dan mengisi bekal air, segera dilakukan persiapan untuk melahap rute turunan nan panjang, namun sebelumnya sempat memberi pertolongan seorang anggota rombongan anak muda yang sedang mengalami kram perut.
Keluar dari warung, butiran air mulai berjatuhan, membuat beberapa peserta mempersiapkan proteksi untuk perangkat elektronik yang dibawa.
Setelah itu jalanan menurun berupa aspal yang mulai berlubang, dan kadang licin karena tertutup lumut. Ditambah lagi setelah melalui wilayah yang berdinding batu atau ada yang menyebutnya Watutulis, hujan deras mulai mengguyur.
Hawa dingin pegunungan, air hujan dan terpaan angin akibat luncuran sepeda yang sangat kencang menjadi tantangan buat tubuh, dan beberapa peserta mulai menggigil kedinginan.
Jarak Ranupani - Lumajang yang hampir 28 KM, dilalui nyaris tanpa mengayuh. Alhasil badan yang tak bergerak jadi semakin dingin.
Beruntung ketika memasuki desa pertama setelah jajaran hutan nan lebat yaitu desa Burno sempat istirahat, otot lengan yang lelah karena guncangan terus menerus diajak lebih rileks, selain itu menyempatkan diri untuk sholat dan mengisi perut (lagi) dengan bakso yang panas untuk menghangatkan tubuh agar tidak masuk angin.
Setelah cukup beristirahat, dilanjutkan menuju ke Senduro yang terletak dibawah Pura Agung Mandara Giri, kemudian belok kiri terus menuju ke kota Lumajang.
Masuk kota Lumajang, disana sudah disambut seorang teman dari Evergreen Bike Club, yang tega-teganya (lagi-lagi) menyiapkan pasokan buat perut yang baru saja terisi.
Karena terlalu kekenyangan, membuat beberapa peserta agak sulit melanjutkan gowes ke Leces, sehingga setelah melalui tanjakan Kedungjajang, beberapa orang naik pick up yang kebetulan bersedia untuk ditumpangi.
Hal ini dilakukan karena fisik sudah sangat terkuras, juga waktu yang sudah mendekati gelap, sehingga dikhawatirkan mengganggu perjalanan ke arah Leces, yang apabila dilalui normal biasanya membutuhkan waktu lebih kurang 1 jam lagi.
Sehingga seluruh peserta lengkap sampai di Finish lebih kurang pukul 5 sore, dengan badan yang loyo, penuh daki, perut kenyang dan pengalaman yang mengesankan.
Semoga menjadi pengalaman mengesankan buat si sulung...
Agar lebih memahami dan mensyukuri karunia Allah berupa alam yang indah.